nice cat

Saturday, December 18, 2010

SEBUAH CANGKIR BIRU

Mendung yang menggelayut di angkasa semakin menghitam. Sedetik lagi hujan mungkin akan turun. Namun aku sangsi, bukankah mendung tak berarti hujan. Ah, itu hanyalah sebuah pepatah atau ungkapan atau pun sejenisnya. Tak terasa beberapa jam telah terlewat di dalam bus. Kendaraan yang akan membawaku ke sebuah tempat yang telah lama kurindukan.
Ingatanku melayang pada suatu waktu ketika aku beranjak remaja. Aku memiliki seseorang yang sangat berarti bagiku kala itu. Bukan seseorang yang cantik nan molek, ia hanyalah gadis pemberani dan baik hati.
“Hey, jangan ganggu dia. Dasar anak nakal.” Gretakan dan tubuh jangkungnya mampu mengusir beberapa anak yang menjahiliku.
“Apa kau tidak apa-apa?” ucapnya khawatir.
Ia berusaha menolongku bangun namun aku mengacuhkan uluran tangannya.
“Kau harus berhati-hati. Mereka suka mengganggu orang baru sepertimu.” lanjutnya.
“Namaku Senja. Kau siapa?” ia ulurkan tangannya yang nampak tak terawat
“Ari.” jawabku singkat.
Masih tersisa ketakutan di mataku. Dari kata-kata yang ia ucapkan sangat jelas bahwa ia hafal dengan daerah ini. Jalan ini adalah satu-satunya jalur menuju ke sekolahku. Sebelumnya aku tidak tahu jika banyak anak-anak yang bisa dibilang liar, nakal, dan bahkan kumuh berkeliaran di sana. Saat itu hari pertamaku pindah ke sekolah menengah pertama di daerah yang berdekatan dengan kawasan yang tidak higienis menurutku.
Kusapukan pandanganku pada jalan yang padat dengan kendaraan. Deru mesin berpacu dengan kucuran keringat para pengemudinya. Klakson bersahut-sahutan. Umpatan kenek bus terdengar sumbang. Kupasangkan headset di telingaku. Kuputar lagu nostalgia aku ingin pulang kesukaanku yang dilantunkan Ebiet.
***
Bus yang kunaiki berhenti di terminal pusat kota yang kutuju. Aku segera menghampiri angkutan yang mengantarkanku menuju sebuah kampung di balik pasar terbesar di kota ini.
“Pak depan berhenti.” ucapku lantang.
Aku segera turun dan menyusuri gang sempit menuju kawasan kumuh di balik pasar. Jalan yang dulu mempertemukanku dengannya sudah banyak berubah. Warna graffiti di tembok kiri kanan jalan tertindih lumut. Tetapi tempat sampah di ujung jalan itu masih sama seperti delapan tahun lalu. Genangan air got yang warnanya hitam kecoklatan menyebarkan bau busuk. Kututup hidungku dengan jemariku yang tak semungil delapan tahun lalu.
Aku masih mengingat suatu hari minggu sebelum aku dan orangtuaku pindah ke kota yang kudiami saat ini. Ia mengorek-korek tumpukan plastik di tempat pembuangan sampah di dekat sekolahku. Aku menghampirinya.
“Ari, kenapa kau kemari?” tanyanya heran.
Tangannya dengan cekatan menyibak-nyibak gundukan sampah di dalam bak. Kukunya menjadi semakin hitam sebab sisa-sisa kotoran sampah itu melekat di sana. Dapat dibilang menjijikkan. Aku tahu hal itu, namun itu semua tertutup oleh kepribadiannya yang baik hati.
“Tidakkah kau lihat cangkir itu? Indah sekali, bukan? Aku pernah mendengar bahwa cangkir bisa mendekatkan dua orang yang jauh.” ia tunjukkan cangkir yang telah retak di bagian pojok bak sampah.
“Nanti sore temui aku di taman belakang sekolah,ya?” pintaku penuh harap.
Ia hanya tersenyum. Aku balik arah dan melesat pergi. Senyumnya kala itu adalah senyum termanis yang kutahu. Meski tubuhnya kumal namun senyumnya mampu membuatku tak berhenti memikirkannya.
Ya, senja adalah waktu yang paling ia sukai. Pemandangan di taman belakang sekolah adalah yang paling indah di kawasan kumuh itu. Mengapa namanya Senja? Apakah ia terlahir ketika senja tiba? Pertanyaan-pertanyaan konyol itu muncul ketika aku sudah dewasa dan matang. Namun perjanjian untuk sebuah pertemuan perpisahan itu kosong. Ia tak datang kala itu.
Kupercepat langkah kakiku. Titik-titik gerimis kembali turun. Apakah aku akan menemukannya di tempat ini? Masihkah ia mengenalku? Pertanyaan itu mengganggu pikiranku.
Bertahun-tahun aku mengumpulkan keberanian untuk kembali ke tempat ini. Bangunan sekolahku kian kokoh berdiri. Taman belakang sekolah berubah menjadi bangunan bertingkat. Aku semakin sadar telah begitu banyak waktu yang terlewat.
Seandainya dulu aku sedikit lebih lama tinggal, mungkin barang empat atau lima jam lagi. Akan kuucapkan sebuah kata yang lama tertahan di lidahku. Senja gadis yang memiliki senyum manis dan berhati baik itu masih adakah di sini?
Aku berhenti di depan sebuah rumah. Rumah yang terhimpit bangunan disekelilingnya. Tak banyak berubah, hanya beberapa detail rumah yang diganti. Mungkin saja karena sudah usang dan lapuk dimakan waktu.
“Assalamualaikum…” kuketok pintu berwarna abu-abu itu.
Tak ada jawaban
“Permisi….” kukeraskan suaraku.
Lagi-lagi tak ada suara yang menyahut
“Mas mencari siapa?” tanya seorang ibu di seberang jalan.
“Senja.” jawabku singkat.
“Dia masih bekerja, tunggu saja. Sebentar lagi ia pulang.” terangnya.
Aku mengangguk pelan sambil tersenyum ucapan terimakasih.
“Barangkali ia sibuk.” pikirku dalam hati.
Besok malam aku harus kembali ke kotaku. Ada pekerjaan penting yang harus kuselesaikan. Hatiku bimbang. Jika aku pergi, apakah harus kulewatkan ribuan hari lagi untuk menemuinya?
Tidak! Kataku tegas.
Aku akan menunggunya sampai ia datang. Bukan seperti yang kulakukan delapan tahun lalu. Ketika aku masih mulai beranjak remaja. Aku tak ingin mengulang kesalahanku.
Gadis itu berjalan lunglai. Ya, tak salah lagi. Ia Senja. Ia buka pintu rumah, sejurus kemudian tertutup bahkan terlihat dibanting. Langkahku tertahan. Lidahku tercekat. Aku gemetar.
Aku melangkah perlahan. Jantungku berdegup lebih dari biasanya.
“Tok.. tok..tok…” tanganku mengetuk perlahan
“Permisi…”
“Ya,..” suaranya terdengar berat. Pintu terbuka.
Aku dapat melihat sekilas jemarinya yang mulai terawat. Gundukan itu menambah pesona indah tubuhnya yang tinggi semampai. Kesunyian sejenak singgah di ruang antara aku dan ia berdiri. Kami terpaku. Tak ada sepatah katapun yang mampu keluar dari mulutku.
“Masuklah.” ucapnya datar.
Ternyata ia tinggal sendirian. Dimana paman yang dulu pernah ia ceritakan padaku? Aku bergulat dengan pikiranku sendiri. Bahkan aku lupa tentang sesuatu yang telah lama kupendam.
“Maaf aku tidak datang tepat waktu dulu.” suaranya menyadarkan lamunanku.
“Senja, aku kesini hanya ingin…” ucapku pelan.
“Pamanku meninggal tepat hari ketika kau memintaku datang ke taman sekolah. Aku datang tapi kau sudah pergi.” ia memotong ucapanku.
Ia memandangku tajam. Pandangan lembut namun terkesan menghakimi. Itukah alasannya delapan tahun yang lalu? Yang tak sempat ia sampaikan padaku karena aku terburu-buru meninggalkan tempat itu.
“Terimakasih. Kata ini seharusnya terucap untukmu delapan tahun yang lalu ketika engkau menolongku. Menolong anak asing yang belum pernah kau kenal sebelumnya.” kusodorkan sebuah kardus dari dalam ranselku.
“Apa ini?” tanyanya heran
“Bukalah. Hanya sebuah benda yang mungkin tak berharga.”
Ia buka perlahan bingkisan itu. Kukunya yang berkilauan terkena pantulan cahaya lamou mengeluarkan sebuah benda dari dalamnya.
“Cangkir ini? Kau masih mengingat kejadian itu?” ia menatapku seksama.
“Aku membelinya sebelum aku pindah dari sini dulu. Namun aku kehilangan waktu untuk memberikannya padamu..” kutatap matanya yang mulai berair.
Di luar sana udara sangat dingin. Lampu-lampu pun sudah dinyalakan. Namun langit masih juga muram.
“Senja, aku harus segera kembali ke kotaku.” kuangkat tas ranselku dan berdiri dari tempat dudukku.
“Tidak bisakah kau tunggu sampai esok? Aku ingin mengajakmu melihat pemandangan ketika senja tiba. Dan meneguk secangkir air kenikmatan. ” ia genggam erat cangkir biru dariku.
Aku hanya terpaku. Lidah dan tubuhku tak kuasa menolak permintaannya.

No comments:

Post a Comment