nice cat

Saturday, December 18, 2010

Kaulah Itu

Kaulah itu
Rasa yang menjalar urat nadi
Mendesir aliran darahku
Kudamba dalam keramaian
Kucari dalam senyap
Kutimang taburan wangi bunga
Agar tiada duka bagimu
Kupatri hatiku hanya untukmu

Kau bagai fatamorgana kini
Sesuatu yang dekat tapi enggan kudekap
Dimanakah engkau
Elok rupa yang buyarkan impian
Bagai aliran air rautmu bening
Lekuk tubuhmu pancarkan gelora
Pesona mawar kau rampas
Kau begitu lembut perasa
Henyak nafas getarkan sukmaku
Sesalkah jika hanya itu yang kupunya
Lambaian sendu untukmu

Kaulah itu
Layu tiada daya
Waktu bius alam sadarmu
Pudarkan harum citramu
Terkurung kau dalam kaca
Mereka cengkeram engkau
Namamu kini wacana semata

Tapak kakimu menghitam
Tinggalkan tangis pilu
Pecah jadi serpihan rindu
Tubuh tanpa jiwa ini
Berjalan tanpa tujuan
Darah dan hati ini
Selalu setia menanti

Kaulah itu
Nama megah yang tinggal nama
Terucap lirih dalam upacara

SEBUAH CANGKIR BIRU

Mendung yang menggelayut di angkasa semakin menghitam. Sedetik lagi hujan mungkin akan turun. Namun aku sangsi, bukankah mendung tak berarti hujan. Ah, itu hanyalah sebuah pepatah atau ungkapan atau pun sejenisnya. Tak terasa beberapa jam telah terlewat di dalam bus. Kendaraan yang akan membawaku ke sebuah tempat yang telah lama kurindukan.
Ingatanku melayang pada suatu waktu ketika aku beranjak remaja. Aku memiliki seseorang yang sangat berarti bagiku kala itu. Bukan seseorang yang cantik nan molek, ia hanyalah gadis pemberani dan baik hati.
“Hey, jangan ganggu dia. Dasar anak nakal.” Gretakan dan tubuh jangkungnya mampu mengusir beberapa anak yang menjahiliku.
“Apa kau tidak apa-apa?” ucapnya khawatir.
Ia berusaha menolongku bangun namun aku mengacuhkan uluran tangannya.
“Kau harus berhati-hati. Mereka suka mengganggu orang baru sepertimu.” lanjutnya.
“Namaku Senja. Kau siapa?” ia ulurkan tangannya yang nampak tak terawat
“Ari.” jawabku singkat.
Masih tersisa ketakutan di mataku. Dari kata-kata yang ia ucapkan sangat jelas bahwa ia hafal dengan daerah ini. Jalan ini adalah satu-satunya jalur menuju ke sekolahku. Sebelumnya aku tidak tahu jika banyak anak-anak yang bisa dibilang liar, nakal, dan bahkan kumuh berkeliaran di sana. Saat itu hari pertamaku pindah ke sekolah menengah pertama di daerah yang berdekatan dengan kawasan yang tidak higienis menurutku.
Kusapukan pandanganku pada jalan yang padat dengan kendaraan. Deru mesin berpacu dengan kucuran keringat para pengemudinya. Klakson bersahut-sahutan. Umpatan kenek bus terdengar sumbang. Kupasangkan headset di telingaku. Kuputar lagu nostalgia aku ingin pulang kesukaanku yang dilantunkan Ebiet.
***
Bus yang kunaiki berhenti di terminal pusat kota yang kutuju. Aku segera menghampiri angkutan yang mengantarkanku menuju sebuah kampung di balik pasar terbesar di kota ini.
“Pak depan berhenti.” ucapku lantang.
Aku segera turun dan menyusuri gang sempit menuju kawasan kumuh di balik pasar. Jalan yang dulu mempertemukanku dengannya sudah banyak berubah. Warna graffiti di tembok kiri kanan jalan tertindih lumut. Tetapi tempat sampah di ujung jalan itu masih sama seperti delapan tahun lalu. Genangan air got yang warnanya hitam kecoklatan menyebarkan bau busuk. Kututup hidungku dengan jemariku yang tak semungil delapan tahun lalu.
Aku masih mengingat suatu hari minggu sebelum aku dan orangtuaku pindah ke kota yang kudiami saat ini. Ia mengorek-korek tumpukan plastik di tempat pembuangan sampah di dekat sekolahku. Aku menghampirinya.
“Ari, kenapa kau kemari?” tanyanya heran.
Tangannya dengan cekatan menyibak-nyibak gundukan sampah di dalam bak. Kukunya menjadi semakin hitam sebab sisa-sisa kotoran sampah itu melekat di sana. Dapat dibilang menjijikkan. Aku tahu hal itu, namun itu semua tertutup oleh kepribadiannya yang baik hati.
“Tidakkah kau lihat cangkir itu? Indah sekali, bukan? Aku pernah mendengar bahwa cangkir bisa mendekatkan dua orang yang jauh.” ia tunjukkan cangkir yang telah retak di bagian pojok bak sampah.
“Nanti sore temui aku di taman belakang sekolah,ya?” pintaku penuh harap.
Ia hanya tersenyum. Aku balik arah dan melesat pergi. Senyumnya kala itu adalah senyum termanis yang kutahu. Meski tubuhnya kumal namun senyumnya mampu membuatku tak berhenti memikirkannya.
Ya, senja adalah waktu yang paling ia sukai. Pemandangan di taman belakang sekolah adalah yang paling indah di kawasan kumuh itu. Mengapa namanya Senja? Apakah ia terlahir ketika senja tiba? Pertanyaan-pertanyaan konyol itu muncul ketika aku sudah dewasa dan matang. Namun perjanjian untuk sebuah pertemuan perpisahan itu kosong. Ia tak datang kala itu.
Kupercepat langkah kakiku. Titik-titik gerimis kembali turun. Apakah aku akan menemukannya di tempat ini? Masihkah ia mengenalku? Pertanyaan itu mengganggu pikiranku.
Bertahun-tahun aku mengumpulkan keberanian untuk kembali ke tempat ini. Bangunan sekolahku kian kokoh berdiri. Taman belakang sekolah berubah menjadi bangunan bertingkat. Aku semakin sadar telah begitu banyak waktu yang terlewat.
Seandainya dulu aku sedikit lebih lama tinggal, mungkin barang empat atau lima jam lagi. Akan kuucapkan sebuah kata yang lama tertahan di lidahku. Senja gadis yang memiliki senyum manis dan berhati baik itu masih adakah di sini?
Aku berhenti di depan sebuah rumah. Rumah yang terhimpit bangunan disekelilingnya. Tak banyak berubah, hanya beberapa detail rumah yang diganti. Mungkin saja karena sudah usang dan lapuk dimakan waktu.
“Assalamualaikum…” kuketok pintu berwarna abu-abu itu.
Tak ada jawaban
“Permisi….” kukeraskan suaraku.
Lagi-lagi tak ada suara yang menyahut
“Mas mencari siapa?” tanya seorang ibu di seberang jalan.
“Senja.” jawabku singkat.
“Dia masih bekerja, tunggu saja. Sebentar lagi ia pulang.” terangnya.
Aku mengangguk pelan sambil tersenyum ucapan terimakasih.
“Barangkali ia sibuk.” pikirku dalam hati.
Besok malam aku harus kembali ke kotaku. Ada pekerjaan penting yang harus kuselesaikan. Hatiku bimbang. Jika aku pergi, apakah harus kulewatkan ribuan hari lagi untuk menemuinya?
Tidak! Kataku tegas.
Aku akan menunggunya sampai ia datang. Bukan seperti yang kulakukan delapan tahun lalu. Ketika aku masih mulai beranjak remaja. Aku tak ingin mengulang kesalahanku.
Gadis itu berjalan lunglai. Ya, tak salah lagi. Ia Senja. Ia buka pintu rumah, sejurus kemudian tertutup bahkan terlihat dibanting. Langkahku tertahan. Lidahku tercekat. Aku gemetar.
Aku melangkah perlahan. Jantungku berdegup lebih dari biasanya.
“Tok.. tok..tok…” tanganku mengetuk perlahan
“Permisi…”
“Ya,..” suaranya terdengar berat. Pintu terbuka.
Aku dapat melihat sekilas jemarinya yang mulai terawat. Gundukan itu menambah pesona indah tubuhnya yang tinggi semampai. Kesunyian sejenak singgah di ruang antara aku dan ia berdiri. Kami terpaku. Tak ada sepatah katapun yang mampu keluar dari mulutku.
“Masuklah.” ucapnya datar.
Ternyata ia tinggal sendirian. Dimana paman yang dulu pernah ia ceritakan padaku? Aku bergulat dengan pikiranku sendiri. Bahkan aku lupa tentang sesuatu yang telah lama kupendam.
“Maaf aku tidak datang tepat waktu dulu.” suaranya menyadarkan lamunanku.
“Senja, aku kesini hanya ingin…” ucapku pelan.
“Pamanku meninggal tepat hari ketika kau memintaku datang ke taman sekolah. Aku datang tapi kau sudah pergi.” ia memotong ucapanku.
Ia memandangku tajam. Pandangan lembut namun terkesan menghakimi. Itukah alasannya delapan tahun yang lalu? Yang tak sempat ia sampaikan padaku karena aku terburu-buru meninggalkan tempat itu.
“Terimakasih. Kata ini seharusnya terucap untukmu delapan tahun yang lalu ketika engkau menolongku. Menolong anak asing yang belum pernah kau kenal sebelumnya.” kusodorkan sebuah kardus dari dalam ranselku.
“Apa ini?” tanyanya heran
“Bukalah. Hanya sebuah benda yang mungkin tak berharga.”
Ia buka perlahan bingkisan itu. Kukunya yang berkilauan terkena pantulan cahaya lamou mengeluarkan sebuah benda dari dalamnya.
“Cangkir ini? Kau masih mengingat kejadian itu?” ia menatapku seksama.
“Aku membelinya sebelum aku pindah dari sini dulu. Namun aku kehilangan waktu untuk memberikannya padamu..” kutatap matanya yang mulai berair.
Di luar sana udara sangat dingin. Lampu-lampu pun sudah dinyalakan. Namun langit masih juga muram.
“Senja, aku harus segera kembali ke kotaku.” kuangkat tas ranselku dan berdiri dari tempat dudukku.
“Tidak bisakah kau tunggu sampai esok? Aku ingin mengajakmu melihat pemandangan ketika senja tiba. Dan meneguk secangkir air kenikmatan. ” ia genggam erat cangkir biru dariku.
Aku hanya terpaku. Lidah dan tubuhku tak kuasa menolak permintaannya.

Tuesday, November 30, 2010

FENOMENA DALAM CERITA KEMBANG KEMUKUS

“…Malam jemuah Pon. Kemukus nontonake rejane maneh. Ewonan manungsa beda-beda kekarep saka sakabening panggonan tumplek bleg….”. Demikian salah satu cuplikan dari cerita pendek (jawa cerkak) yang berjudul Kembang Kemukus. Dari cuplikan tersebut, kita dapat menyimpulkan anggapan awal bahwa ada sesuatu yang terdapat di dalam cerita tersebut yakni menceritakan tentang perjalanan seorang tokoh yang tinggal di salah satu tempat di Gunung Kemukus. Akan tetapi yang perlu disoroti bukanlah perjalanan dari tokoh yang terdapat di dalam cerita tersebut. Akan tetapi, bagaimana pengarang menunjukkan hal-hal yang menjadi suatu kepercayaan atau mitos yang terdapat di Gunung Kemukus.
Berdasarkan isi cerita, latar yang diambil adalah kota Sragen yang merupakan bagian dari salah satu kabupaten di Jawa Tengah. Dari hal itu dapat diketahui bahwa latar belakang kehidupan pengarang khususnya lingkungan kesehariannya tidak jauh dari tempat yang diangkat dalam ceritanya. Kota Sragen mempunyai salah satu tempat yang konon dipercaya dapat membawa berkah jika orang yang datang kesana melakukan sebuah ritual. Pada hari-hari tertentu, kawasan ini dipenuhi dengan bermacam-macam orang yang mempunyai tujuan yang berbeda-beda. Ungkapan seperti itu bukan hal yang asing bagi masyarakat di kota Sragen. Meskipun lokasinya kini sudah terpisah dengan daratan Kecamatan Sumberlawang, akibat genangan air proyek waduk raksasa Kedung Ombo beberapa tahun lewat, namun minat para peziarah yang berdatangan dari berbagai daerah tak pernah surut.
Daya tarik dari tempat ini adalah makam Pangeran Samudra dan ibunya Dewi Ontowulan. Pada malam Jumat Pon biasanya peziarah mencapai belasan ribu orang. Pengunjungnya banyak berasal dari Jawa Barat. Objek ini terkenal karena terdapat seribu mimpi indah yang bisa diraih di sana. Makam Pangeran Samudro diyakini memiliki tuah yang bisa mendatangkan berkah bagi mereka yang memohon dengan sungguh-sungguh. Sebut saja ingin sukses berdagang, mudah jodoh, atau karier cepat menanjak. Sayangnya, objek ini tercemar oleh mitos-mitos sesat. Padahal, tidak ada dasar cukup kuat untuk membenarkan mitos ini.
Orang-orang yang berziarah dan melakukan hal-hal yang diyakini dapat membawa berkah. Hal tersebut yakni dilakukannya hubungan badan dengan wanita yang berada di sana. Para wanita itu lebih tepat disebut dengan wanita tunasusila. Celakanya, apabila keinginan mereka ingin cepat terkabul, konon selepas melakukan ritual peziarahan yang diawali dengan mandi di sendang serta melantunkan doa-doa khusus yang dibimbing seorang juru kunci makam Pangeran Samudra, para peziarah perempuan harus menjalani ritual lainnya, yaitu mandi birahi dengan lelaki yang bukan suaminya.
Pada zaman yang begitu canggih dengan teknologi saat ini, masih saja terdapat peristiwa yang menurut hemat kita hanya merupakan keyakinan yang salah kaprah. Bagaimana mungkin kesejahteraan hidup didapatkan dari ritual yang terkesan seperti asusila. Sementara benar atau tidaknya hal tersebut belum jelas adanya. Sebab adegan hubungan intim tersebut tidak hanya dilakukan di balik warung remang-remang di kawasan tersebut akan tetapi juga biasa dilakukan ditempat terbuka. Bukankah hal itu tidak layak jika dilakukan oleh manusia yang mempunyai akal yang masih waras dan mempunyai nalar yang cukup kritis. Apalagi mereka yang berharap mendapatkan berkah harus berani melakukan hubungan intim dengan lawan jenis di Gunung Kemukus tersebut.
Sesungguhnya dari beberapa sumber dikemukakan bahwa terdapat salah paham yang terjadi pada inti dari ziarah makam Pangeran Samudra ini. Terdapat salah satu naskah wacana yang meyebutkan bahwa “Sing sopo duwe panjongko marang samubarang kang dikarepke bisane kelakon iku kudu sarono pawitan temen, mantep, ati kang suci, ojo slewang-sleweng, kudu mindeng marang kang katuju, cedhakno dhemene kaya dene yen arep nekani marang panggonane dhemenane” (Kadjawen, Yogyakarta : Oktober 1934. Terdapat pendapat yang keliru pada masyarakat awam adalah apabila berziarah ke Makam Pangeran Samudra harus seperti ke tempat kekasih/dhemenan dalam pengertian bahwa berziarah ke sana harus membawa isteri simpanan atau teman kumpul kebo serta melakukan hubungan seksual dengan bukan istri atau suami yang sah.. Parahnya, pendapat tersebut telah diterima oleh sebagian besar masyarakat. Pendapat tersebut yang mendarah daging dalam masyarakat kita, sehingga kekeliruan terus dilakukan. Bahkan akibat hal itu, kegiatan kumpul kebo dikomersilkan. Pendapat semacam itu perlu diluruskan.
Munculnya pendapat tersebut berawal dari penafsiran pengertian kata “dhemenan”. Pengertian kata “dhemenan” dalam bahasa Jawa diartikan kekasih lain yang bukan isteri/suami sah (pasangan kumpul kebo), kekasih gelap, isteri/suami simpanan. Sehingga pengertiannya menjadi apabila ziarah ke Makam Pangeran Samudra harus membawa dhemenan. Padahal arti sesungguhnya dari kata “dhemenan” dalam konteks naskah dalam bahasa Jawa tersebut adalah keinginan yang diidam-idamkan, cita-cita yang ingin segera terwujud/tercapai seperti seakan-akan ingin menemui kekasih. Dapat disimpukan bahwa berziarah ke makam Pangeran Samudra di Gunung Kemukus adalah apabila ingin tercapai cita-cita atau harapan maka harus menghadapi segala rintangan dengan sungguh-sungguh dan memfokuskan diri pada cita-cita tersebut.
Jika ditinjau dari segi sosial pada saat ini, hal tersebut perlu ditinjau ulang yakni mengenai kegiatan ziarah makam Pangeran Samudra di Gunung Kemukus. Pendapat yang keliru perlu dilusruskan agar tidak terjadi kesesatan jalan yang berlarut-larut. Pada dasarnya ziarah makam ini memiliki berbagai macam hal positif. Salah satunya yaitu melestarikan kekayaan sejarah yang kita miliki, bukan justru merusak dengan pendapat yang tidak jelas asal usulnya.

Monday, November 29, 2010

Wayahku Pamit

“ Braaakkkkkkkkkkkkkkk………….sreeeeeeeeeeeeeeettttttttttttttt……..!”
Dumadakan suara kuwi mecah sepine swasana ngadepne wayah maghrib. Pirang-pirang pasang mata padha noleh lan sing ana njero omah padha metu nggoleki lan nyawang getih kang mblambang mili ngebeki tengah dalan iku. Ana uga bocah sing njerit wedhi nyawang gettih iku, bocah cilik iku banjur ngamplok ing awake ibuke. Teletik grimis ndandekake getih iku tansaya ngambar-ngambar. Wong lanang sing jaketan ireng awake ketindhian sepeda motor kang wis ora ana bentuke. Aku isih eling nalika ana suara banter lan tanganku ucul saka tangan wong lanang kang dak tresnani. Aku isih bisa mbayangake guyune bapak lan ibu, uga guyune mas Budi nalika gandeng tanganku lan ngelus rambutku. Sawise iku amung peteng, saya suwe peteng iku dadi putih. Klambi putih sing nutupi awakku rupane wis maleh abang mbranang. Sumilire angin lan teletik grimis kang tansaya deres ngundang rasa adem lan singlu ing papan iku. Ora suwe suarane sirine polisi saka adhoh wis tekan papan iki.
Tangise wong wadon iku pecah, mlambang mili kaya getih ing ratan iku. Wong lanang iku ngelus pundhake kanthi mripat sing wis kebak banyu. Ganthilane ati saiki amung ninggal jeneng. Ninggal esem lan guyune ana njero atine Pak Sarpan lan Bu Rahayu.
***
Kursi iku dadi seksi omongane ibu lan bapak marang aku. Ana rasa ing njero atiku sing isih ngganjel, nanging aku ora bisa menggak lan amung bisa meneng. Mripat papat iku kabeh nyawang aku tenanan lir landepe dom sing arep nunjep dadaku. Ana walike landep mripat iku nyimpen tresno sing satuhu. Amung aku gantilaning atine wong tuaku. Mula aku ora ngerti geneya aku ora nduwe adi. Nanging wektu menehi weruh dewe marang aku menawa aku ora nduwe adi amarga tresnane bapak marang ibu. Bapak wedi yen ibu mbobot maneh, mangka angel anggene babaran lan bapak ora kuasa nyawang ibu wayah babaran iku.
“Nduk, Lastri, babagan sing ibu lan bapak omongake iku kabeh amrih dadi apik ing dalanmu. Amri awakmu bisa lancar anggonmu golek ngilmu lan sakabehing panjalukmu diridhoi Gusti Allah.” pangucapane Ibu ing tengah swasana sepi wengi iku. Ibu wong sing sabar, jarang banget nduwe pegel utawa nesu.
“Iya Tri, manuta apa sing dikarepake ibumu. Dina sing pas miturut itungane ibu lan bapak yaiku dina wetonmu Nduk. Lan wektu iku kurang sedela.” bapak nambahi katrangan
iku amrih aku tansaya yakin lan gelem.
“ Nuwun sewu Bu, punapa perkawis niku kedah enggal dilaksanaaken? Punapa mboten nengga kula ngrampungaken anggene kula kuliah?” pitakonku marang ibu kanthi suara lirih lan ati ndredeg. Aku tresna banget marang ibu, ora ana kang bisa ngalahake tresnaku iki.
Unine jangkrik aneng njaba krungu banter tekan njero omah amarga aku, bapak, lan ibu meneng anteng. Aku isih ora ngerti geneya adat ruwatan gawe anak tunggal iki kudu ndang dilakoni. Rasane kaya wis ora ana wektu liya maneh, ewasemana wektu gawe ruwatan iku mepet marang wayahku ujian skripsi kang ora bisa diundur. Wektu ruwatan dina minggu lan dina senin aku kudu ujian skripsi. Sirahku kebak pikiran rena-rena, aku kudu milih maut marang ongtua utawa sakarepku dewe sing tembe mburine bakal gawe atine bapak lan ibu kuciwa. Aku wegah yen nganti nguciwaake wongtua amarga apa kang dikarepake lan dipilih wongtua mesti mikirake apike anak. Adat ruwatan iki wis dadi tradisi ing desaku, anak tunggal kudu diruwat amrih uripe slamet lan ora diganggu batarakala, luwih-luwih yen adoh saka omah kaya aku iki. Aku ngudi ngilmu menyang kutha Surabaya iki amrih bisa nggayuh apa sing dak karepake.
“ Nduk, kepriye pungkasane? Apa awakmu gelem yen ruwatan iki kalakon dina minggu sesuk. Ngertia nduk luwih becik yen ruwatan iki ndang kalakon.”
“ Bapak lan ibu amung pengen awakmu slamet. Ora ana niat liyane.”
“Inggih, kula sarujuk mawon kaliyan ibu lan bapak.” aku ora kuasa nolak karepane wongtua. Aku nyawang esem kang ngembang saka praupane. Aku mbayangake saiba bungahe atine ibu lan bapak amarga aku nyarujuki kekarepane. Nyawang eseme wis nggawe atiku ayem tentrem. Bapak sing asmane Sarpan, nduwe praupan kereng nanging atine alus. Ibu sing paring asma Rahayu yaiku wong sing sabar ngadepi urip lan tresna banget marang kluwarga.
Isuk iku ruwatan diwiwiti kanthi ngundang wong kabehe sanga- tandha wali iku ana sanga- gawe maca al-quran. Ruwatan iki ora wis campur adat islam sing ana ing desaku. Uga ana sesajen yaiku kembang setaman, jenang abang, lan agurampen liyane. Sawise wong-wong padha mulih ana siji sing kudu dilakoni maneh, yaiku aku mbasuh sikile ibu ngganggo kembang setaman banjur aku dilangkahi kaping telu kanthi maca solawat. Sarampunge iku, aku wis siap arep budhal menyang Surabaya kangge nyiapake ujian sing dak lakoni sesuk.
“Ibu, Bapak, kula nyuwun pamit rumiyin bade bidal. Nyuwun pangestunipun mugi kula lancar anggene ujian lan mboten wonten alangan sakmenika.” aku pamitan marang wongtuaku kanthi ngambung tangane. Tangan sing wis ngramut aku nganthi aku gede, lan sing sabar menehi pangerten marang aku.
“Apa awakmu budhal dhewe, Nduk? Apa ora bareng Budi? Amrih ana sing ngancani ana dalan.” umurku wis luwih saka 20 tahun, nanging yen aku lelungan Ibu isih wae kuatir yen aku budhal lunga dhewean. Aku bisa ngerti atine Ibu kaya magkana iku.
“Mas Budi tasih wonten panggawean wonten mriki Bu, dados kula mboten wantun nyuwun tulung.” ana rasa mamang ana njero atiku.nanging aku ora ngerti apa.
“Nduk, Lastri. Ngati-ati ana dalan. Apa ora luwih apik yen njaluk tulung Budi?” pitakone Bapak.
“Mboten Pak, kula piyambaan mawon bidhale.” aku nyauri pitakon iku kanthi salaman lan ngambung tangane Bapak.
“Pak, Ibu. Kula pamit bidhal rumiyin.” isih ketara eseme wongtua kang dak tresnani iku. Aku diterne Bambang -poanakanku- menyang terminal. Saka adoh aku nyawang omahku lan wongtuaku sing isih mesem lan lembean tangane Ibu. Omah lan wongtuaku wis ora ketara ing saka prapatan iki.
Sawise ujian, dumadakan aku kepengen muleh menyang desaku. Eseme Ibu lan Bapak kaya wis gumantung ana ngarepku. Aku nelpun mas Budi dak jaluki tulung mapak menyang Surabaya.
“Mas, napa njenengan tasih repot?” pitakonku.
“Ora dik, ana apa? Aku saiki ana Malang ngrampungake panggawean sing ana kene.” suara kuwi isih padha kaya sapisan aku kapethuk dheweke. Wong sing dak tresnani awit setaun kapungkur. Aku lan Mas Budi sarujuk yen aku wis wisuda lan antuk panggawean, dheweke arep njaluk aku menyang wongtuaku. Miturutku Mas Budi kuwi wong singa pik lan aku wis yakin yen wong lanang iku bakal bisa nuntun aku lan dadi panutanku ing nduya iki.
“Kula nyuwun tulung menawa njenengan saget mapak dhateng mriki?”
“Oh, iya Dik Lastri. Jam siji dak papak ana kosanmu.”
“Iya Mas, dak enteni.” telpun iku dipateni.
Awan iku aku dipapak Mas Budi saka kosanku. Ana dalan atiku wis kebayang omah, eseme Bapak uga gemuyune Ibu. Pisan pindha aku lan Mas Budi guyonan ana ing jembatan sing biasane gawe mandeg wongsing lelungan adoh kaya aku iki. Wayah wis arep sore, mendung ing langit katon peteng. Aku mbacutake lakon muleh menyang desaku amrih ora kudanan ana dalan. Atiku rasane ora karuan, aku ngomong marang Mas Budi yen aku kepikiran omah awit mau. Mas Budi amung nyauri yen ora suwe maneh wis tekan omah,dadi ora perlu kuatir. Tanganku digegem Mas Budi nanging ati iki tansaya kemrungsung.
Dumadakan motor kang dak tumpaki ora imbang. Menggak menggok ngiwo nengen kanthi banter, rem motor diidek nanging panggah ora bisa ngendalekake motor. Motor iki keseret lan tanganku ucul saka tangane Mas Budi. Aku isih eling yen aku weruh Mas Budi keseret motore. Aku mencelat adoh lan sirahku krasa abot, aku amung eling ana suara kaya suara tabrakan sing banter banget, lamat-lamat aku uga krungu wong mbengok lan bocah cilik njerit. Sanalika kabeh dadi peteng. Aku isih krungu unine ambulan lan mobile polisi sing tansaya ilang lan dadi peteng. Nalika kabeh peteng ana suara sing mbengok nyeluk jenengku.
“Lastriiiiiiiiiiii…………. Ndukkkkkk…..!!” iku suarane Ibu. Sanalika sakabehe peteng, aku wis ora krungu suara apa-apa.